Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Sunan Kali Jaga Menantu dan Murid Syekh Siti Jenar


Dari beberapa sumber yang ada Sunan Kalijaga adalah murid sekaligus menantu Syekh Siti Jenar. Meskipun pendapat diatas benar, perlu waktu untuk mengubah persepsi tentang syekh Siti Jenar.

Sejarah itu diceritakan oleh penguasa, meskipun terkadang bertolak belakang dengan kenyataannya. Kita perlu mengkaji terus, agar kebenaran bisa diwujudkan karena langkah kita kerap terbelenggu oleh sejarah masa lalu.

Ada pendapat yang meragukan keberadaan wali Songo, seperti yang diungkapkan oleh M.C Ricklefs dalam Islamization and Its Opponents (NUS, 2012).

Keberadaan Syekh Siti Jenar secara fisik masih menjadi perdebatan. Lokasi di mana jasadnya dikebumikan setelah dihukum penggal pada masa-masa akhir kepemimpinan Raden Patah (1475-1518) selaku penguasa Demak pun masih simpang-siur.


Yang menjadi pegangan bahwa Syekh Siti Jenar memang pernah hadir dan berperan penting adalah peninggalan ajarannya yang disebut pupuh atau ajaran budi pekerti. Beberapa sumber lama berupa babad maupun serat merekam apa saja yang dipelajari, diyakini, dan dijalankan Syekh Siti Jenar yang dianggap sesat itu.

Syekh Siti Jenar diyakini berasal dari Persia (Iran), lahir sekitar 1404 M. Ia berguru kepada ayahnya, Sayyid Shalih, yang dikenal sebagai ahli tafsir kitab suci. Konon, Jenar sudah hafal Alquran sejak usia 12 tahun (Shohibul Farojo Al-Robbani, Kumpulan Tanya Jawab Islam: Hasil Bahtsul Masail dan Tanya Jawab Agama Islam, 2013:1474).

Dirunut dari silsilah, para pengikutnya yakin bahwa Syekh Siti Jenar keturunan langsung Nabi Muhammad melalui jalur Siti Fatimah dan Ali bin Abi Thalib (Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah Atas Metode Dakwah Walisongo, 1995:49). Pada usia 17 tahun, Jenar tiba di Kepulauan Nusantara, mengikuti ayahnya berdagang sekaligus berdakwah di Malaka. Ayah Jenar lalu diangkat sebagai mufti (ulama yang berwenang menafsirkan kitab dan memberikan fatwa kepada umat) oleh penguasa Kesultanan Malaka saat itu, yakni Sultan Iskandar Syah (1414-1424).




Berdasarkan catatan keluarga dan riwayat yang mereka rawat, pada abad-15 Masehi, tiba seorang bernama Djaya Prana yang mendarat di Labuan Tereng (dekat pelabuhan Lembar saat ini), kemudian melanjutkan perjalanan ke arah Timur sampai di Sumur Batu, di Bagek Papan, Lombok Timur.

Selang beberapa tahun, Djaya Prana disusul oleh adiknya yang bermana Wijaya Krama ke Lombok. Tokoh Djaya Prana ini (dalam versi Yogjakrta dan Solo) adalah kakak dari Sunan Kalijaga. Disebutkan pula bahwa maksud kedatangan Sunan Kalijaga ke Lombok adalah untuk menemui kakaknya yang menetap di pulau itu. Tokoh Djaya Prana ini kemudian dimakamkan di Pesarean para Sultan Mataram Islam, Kotagedhe, Yogyakarta.

Sementara dalan versi serat Centhini, Djaya Prana atau Andaya Prana adalah nama lain dari Sunan Kalijaga.

Hal serupa disebutkan juga oleh Husien Djadjadiningrat, bahwa ketika berada di Cirebon, Sunan Kalijaga memakai nama Djaya Prana. Jadi dalam tafsiran sejumlah sumber, Djaya Prana dan Sunan Kalijaga adalah satu orang dengan dua nama.

Ketiga, terkait dengan penyempurnaan ilmu batin Sunan Kalijaga yang diterimanya dari Syekh Siti Jenar. Dalam beberapa serat disebutkan bahwa Sunan Kalijaga adalah menantu sekaligus murid kesayangan Syekh Siti Jenar. Dalam mata rantai atau sanad tarekat Akmaliyah, terdapat sanad yang berujung di Syekh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga, baru kemudian bersambung ke ke Sultan Pajang sampai Sultan Agung.

Syekh Siti Jenar mengajarkan Martabat Tiga, tapi karena dinilai sangat ekstrem, maka oleh Sunan Kalijaga ditata-ulang menjadi Martabat Tujuh. (Penjelasan tentang kronik Martabat Tiga dan Martabat Tujuh membutuhkan ruang tersendiri).

Ketika Syekh Siti Jenar meninggal, Sunan Kalijaga memerlukan dirinya datang ke Pulau Lombok untuk menyempurnakan ilmu tarekatnya kepada Pangeran Sangupati, seorang murid Syekh Siti Jenar yang lebih senior.


Terjadilah pertemuan keduanya di desa Bayan, di bawah Kaki Gunung Rinjani. Bayan sendiri adalah tempat para ulama penganut tarekat Watu Telu (bukan Islam Watu Telu seperti diperbincangkan banyak kalangan selama ini).

Bukti pertemuan ini adalah adanya makam Pangeran Sangupati yang bersebelahan dengan makam seorang yang disebut Sahid di sebelah Barat Masjid Pusaka Bayan. Nama “Bayan” sendiri adalah kode dari jaringan nama tempat (toponimi) yang didiami oleh para penganut ajaran Martabat Tiga Syekh Siti Jenar, di Jawa atau di mana pun.

Keempat, Sunan Kalijaga memiliki seorang putra kesayangan bernama pangeran Saridin. Tanpa alasan yang jelas, Pangeran Saridin menghilang, dan diperkirakan menuju ke arah Timur. Karena sangat sayang kepada putranya, Sunan Kalijaga mencarinya sampai ke arah Timur, tepatnya ke pulau Lombok.

Kelima, Sunan Bonang yang dikenal sebagai Syeikh Wahdat adalah guru dari Sunan Kalijaga juga. Salah satu kelebihan guru dan murid ini adalah memiliki ilmu seperti Nabi Yunus as, yakni akrab dengan para penghuni laut.

Dalam banyak cerita disebutkan bagaimana Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga melintasi lautan dengan menumpangi seekor ikan besar yang menjadi sahabat setia mereka. Disebutkan bahwa dalam suatu perjalanan, Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga singgah di beberapa tempat di pulau Lombok sehingga riwayat dua wali yang mengarungi lautan dengan menumpangi seekor ikan besar sangat terkenal di kalangan masyarakat Lombok.

Guru Sunan Kalijaga


Raden Syahid mengembara mencari ilmu kesejatian hidup. Ia mencari seorang ulama bernama Sayyid Hasan Ali al Husaini, pengasuh pesantren Krendhasawa Lemah Abang Cirebon.

Raden Syahid mantab belajar kepada Syekh Siti Jenar saat berusia 19 tahun. Dia mengaku bernama Malayakusuma berasal dari Majapahit, tepatnya lahir di Tuban.

Sebelumnya, Syekh Siti Jenar mendapatkan wangsit didatangi Syekh Maulana Magribi. Paginya usai solat dhuha, Syekh Siti Jenar ternyata kedatangan pemuda berusia 19 tahun bernama Malayakusuma.

Raden Syahid atau Malayakusuma terhitung putra tiri Syekh Maulana Magribi, karena ibunda Raden Syahid menikah terlebih dahulu dengan Syekh Maulana Maghribi sebelum menikah dengan ayah Raden Syahid, Adipati Tuban.

Sebelum kedatangan Malayakusuma, Syekh Lemah Abang ditemui Syekh Maulana Magribi dalam dunia gaib. Sebelum diterima sebagai santri di Krendasawa, Malayakusuma dicecar dengan banyak sekali pertanyaan.

Setelah dianggap lolos, Malayakusuma akhirnya diterima sebagai santri Krendhasawa. Bahkan, Raden Syahid ini sempat mengiringi gurunya, Syekh Siti Jenar sewaktu diundang Sunan Ampel untuk menjadi anggota Majelis Walisongo.

Kelak, murid Syekh Siti Jenar bernama Malayakusuma ini juga menjadi anggota Walisongo yang sangat terkenal, Kanjeng Sunan Kalijaga. Namanya tersohor sebagai wali besar, waliyullahnya Tanah Jawa dan Nusantara.

Namun, kisah sang guru, Syekh Siti Jenar justru sangat tragis. Ia ditangkap dan diadili karena ajarannya dinilai tidak sesuai dengan syariat Islam pada umumnya.


Para wali sebetulnya tidak menyalahkan ajaran Syekh Lemah Abang, waliyullah dari negeri Persia ini. Hanya saja, ajaran "Manunggaling Kawulo lan Gusti" dianggap tidak tepat diajarkan kepada publik atau orang awam.

Tapi bagi Syekh Lemah Abang, eksekusi yang ia terima bukanlah apa-apa. Karena ia sudah mencapai kesejatian



sumber: jejak-sunan-kalijaga-dan-syekh-siti-jenar-di-pulau-lombok

Posting Komentar

0 Komentar